TRENGGALEK, bioztv.id – Fakta mengejutkan terungkap terkait biaya yang dibayarkan oleh pemegang sertifikat hak milik (SHM) di sepanjang sepadan Pantai Konang. Ternyata, para pemegang 41 SHM tersebut hanya membayar uang pemasukan kepada negara dengan nominal yang terbilang sangat rendah, yakni berkisar antara Rp22.662 hingga Rp169.087.
Sementara itu, satu sertifikat hak pakai (SHP) milik Pemerintah Kabupaten Trenggalek untuk Tempat Pelelangan Ikan (TPI) membayar biaya administrasi sebesar Rp150.000.
Kepala ATR/BPN Trenggalek, Agus Purwanto, menjelaskan bahwa besaran uang pemasukan tersebut dihitung berdasarkan rumus tertentu yang disesuaikan dengan luas tanah.
“Uang pemasukan ke negara ini sudah dihitung sesuai ketentuan. Setiap pemohon membayar sesuai luas tanah yang diajukan. Jadi, nominalnya berbeda-beda,” jelas Agus saat dikonfirmasi, Kamis (12/10).
Dasar Penerbitan Sertifikat
Penerbitan sertifikat hak milik di kawasan Pantai Konang, Desa Nglebeng, Kecamatan panggul, Trenggalek ini didasarkan pada beberapa Surat Keputusan (SK) dari Kanwil BPN Provinsi Jawa Timur, yaitu:
- SK Nomor 242/HM/35/1996 tanggal 14 Maret 1996,
- SK Nomor 352/HM/35/1996 tanggal 15 April 1996, dan
- SK Nomor 079(A)/HP/35/1996 tanggal 28 Maret 1996.
Proses penerbitan sertifikat ini diawali dengan surat permohonan dari Imam Ahrodji dan 40 warga lainnya pada 5 Februari 1996. Selain itu, terdapat Surat Kepala Kantor Pertanahan Kotamadya Trenggalek tanggal 29 Februari 1996, serta risalah penelitian tanah oleh Panitia Pemeriksaan Tanah pada 12 Februari 1996 yang menyatakan bahwa tanah tersebut berstatus tanah negara.
Saat itu, Kepala Desa Nglebeng juga memberikan surat keterangan pada 27 Juni 1995 yang menyatakan bahwa tanah tersebut telah digarap oleh pemohon sejak tahun 1987. Surat ini diketahui oleh Camat Panggul, memperkuat klaim warga atas penguasaan lahan tersebut.
Sertifikat Terbit Tahun 1996, Tanpa Peta Sepadan Pantai
Sertifikat-sertifikat tersebut diterbitkan pada 15 Juli 1996 melalui program pemerintah bernama Proyek Peningkatan Penguasaan Hak Atas Tanah (P3HT). Agus menegaskan, pada saat itu, belum ada peta sepadan pantai.
“Tahun 1996, belum ada aturan tentang garis sepadan pantai. Garis tersebut baru ada setelah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Trenggalek tahun 2012,” ujarnya.
Menurut Agus, lahan yang disertifikatkan saat itu digunakan untuk pertanian, khususnya tanaman kelapa. Kemudian saat program P3HT dilaksanakan, lahan tersebut diajukan permohonan sertifikat. Program P3HT ini melibatkan langsung tim dari BPN, pihak desa, dan pemohon
“Setelah melalui proses panjang, akhirnya terbit 41 SHM untuk masyarakat dan 1 SHP untuk pemerintah daerah,” paparnya.
Tantangan ke Depan
Dengan terbitnya RTRW Trenggalek tahun 2012 yang menetapkan garis sepadan pantai, status 41 SHM dan 1 SHP di Pantai Konang kini menjadi sorotan. Agus Purwanto mengakui, BPN Trenggalek sedang meninjau ulang status lahan tersebut. Kasus ini memunculkan pertanyaan besar: bagaimana mengatasi tumpang tindih antara hak kepemilikan warga dan aturan perlindungan kawasan pesisir.
“Kami akan berkoordinasi dengan pihak terkait untuk mencari solusi terbaik,” pungkasnya.(CIA)