TRENGGALEK, bioztv.id – Di tengah gencar berbagai upaya pemerintah daerah menekan angka anak tidak sekolah (ATS), ribuan anak di Trenggalek masih belum mengenyam pendidikan. Data terbaru menunjukkan, dari total 4.917 anak yang masuk kategori ATS, baru sekitar 1.643 anak berhasil mengikuti program pendidikan kesetaraan seperti Paket A, B, dan C.
Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Dikpora) Kabupaten Trenggalek, Agus Setiyono, mengakui kompleksnya persoalan ATS di wilayahnya. Banyak faktor menjadi penyebab, mulai dari anak yang tidak pernah sekolah sejak awal, hingga mereka yang putus di tengah jalan karena kendala ekonomi, masalah sosial, atau kurangnya kesadaran akan pentingnya pendidikan.
“Penyebab anak tidak sekolah itu beragam. Ada yang memang tidak masuk sekolah sejak awal, ada yang putus di jenjang SD atau SMP, atau yang tidak melanjutkan ke jenjang lanjutan setelah lulus. Kondisi ini nyata di Trenggalek,” jelas Agus saat dikonfirmasi.
Dari sekitar 170.000 anak usia sekolah (7-18 tahun) di Trenggalek, lebih dari 4.900 anak diperkirakan tidak bersekolah. Pemerintah daerah telah berupaya keras melalui berbagai program, termasuk pendidikan kesetaraan yang kini menjangkau sekitar 1.600 anak.
“Data terakhir menunjukkan, sekitar 1.600 anak ATS kini telah mengikuti pendidikan kesetaraan. Ini mencakup Paket A untuk setara SD, Paket B untuk SMP, maupun Paket C untuk setara SMA,” terang Agus.
Tantangan Besar: Ribuan Anak Belum Terjangkau Program Pendidikan
Meski demikian, angka tersebut masih jauh dari total ATS yang ada. Artinya, sekitar 3.300 anak di Trenggalek hingga kini belum tersentuh program pendidikan apa pun. Ironisnya, data dari Komisi IV DPRD Kabupaten Trenggalek menyebutkan, Kecamatan Dongko menjadi wilayah tertinggi penyumbang ATS dengan jumlah mencapai 721 anak. Ini menunjukkan perlunya perhatian lebih pada daerah-daerah spesifik.
Faktor Ekonomi dan Kesadaran Masyarakat: Hambatan Utama
Selain faktor perkawinan dini, Agus juga menyoroti situasi sosial ekonomi masyarakat yang memengaruhi angka ATS. Banyak orang tua masih beranggapan bahwa sekolah belum mampu menjamin masa depan anak di dunia kerja.
“Tingkat kesadaran tentang pentingnya pendidikan memang masih bervariasi. Beberapa keluarga, karena faktor ekonomi atau pola pikir, memilih untuk tidak menyekolahkan anaknya,” papar Agus.
Pemerintah daerah telah membentuk Sekretariat Penanganan Anak Tidak Sekolah di Bappeda Litbang yang melibatkan sejumlah OPD terkait. Mereka terus melakukan upaya jemput bola dan pendekatan langsung ke keluarga. Jika pendidikan formal dirasa memberatkan, anak-anak ATS didorong untuk mengikuti pendidikan non-formal melalui Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM).
“Jika minimal ada 10-15 anak di suatu wilayah, PKBM dapat membuka layanan belajar di balai desa atau tempat terdekat agar lebih mudah dijangkau,” tambahnya.
Perkawinan Dini Menurun, Namun Pekerjaan Belum Selesai
Agus memastikan, angka perkawinan anak di Trenggalek saat ini sudah sangat rendah, yaitu di bawah 1 persen. Hal ini sejalan dengan kebijakan bupati yang mewajibkan rekomendasi pernikahan bagi anak di bawah usia 18 tahun, disertai komitmen untuk tetap melanjutkan pendidikan.
“Kami tetap mendorong anak yang menikah di usia dini untuk mengikuti pendidikan kesetaraan. Jadi, pernikahan bukan alasan untuk berhenti belajar,” tegasnya.
Meskipun berbagai program telah berjalan, kenyataan bahwa ribuan anak Trenggalek masih berada di luar sistem pendidikan menjadi alarm serius. Oleh karena itu, pendekatan yang lebih masif dan terstruktur hingga ke level RT/RW sangat diperlukan.
“Langkah-langkah kolaboratif lintas sektor dan penguatan peran desa akan menjadi kunci utama untuk menekan angka ATS di Trenggalek,” pungkas Agus.(CIA)
Views: 80

















