TRENGGALEK, bioztv.id – Kasus santriwati asal Desa Karangrejo, Kecamatan Kampak, yang hamil hingga melahirkan setelah diduga menjadi korban kekerasan seksual di sebuah pondok pesantren di Desa Sugihan, Kampak, terus bergulir. Hingga kini, penanganan kasus yang mencuat sejak April 2024 ini belum menunjukkan perkembangan signifikan, sementara pelaku belum juga ditetapkan.
Pendamping hukum bantuan dari Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Dinsos PPPA) untuk korban, Haris Yudhianto, menyampaikan jika cepat tidaknya penanganan perkara ini sangat bergantung pada kinerja penyidik. Terlebih, saat ini status perkara ini masih dalam tahap penyelidikan dan belum masuk ke tahap penyidikan. Sementara itu, pemeriksaan saksi saksi masih terus dilakukan.
“Hari ini saya mendampingi korban untuk pemeriksaan lanjutan setelah sebelumnya menjalani visum,” ujar Haris saat ditemui di Polres Trenggalek.
Ia menegaskan bahwa jika ada korban yang hamil hingga melahirkan, maka tugas polisi adalah menyelesaikan kasus ini sampai tuntas. Jika kasus ini tidak selesai, maka akan menjadi PR bagi polisi selamanya
“Jangan sampai masyarakat bertanya-tanya, bagaimana bisa ada korban yang hamil, melahirkan, tapi tidak ada pelakunya,” tegasnya.
Masyarakat setempat juga tidak tinggal diam. Aksi massa beberapa waktu lalu juga sempat terjadi. Massa mendatangi pondok pesantren hingga balai desa. Hal ini menunjukkan besarnya perhatian dan harapan masyarakat agar kasus ini segera diselesaikan. Namun hingga kini, pemilik pondok yang diduga terlibat masih belum diketahui keberadaannya.
Haris juga menyoroti bahwa sebenarnya terdapat banyak peraturan perundang-undangan yang dapat digunakan untuk mengusut kasus ini, seperti Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
“Jika mengacu undang-undang TPKS, satu alat bukti sebenarnya sudah cukup untuk membawa kasus ini ke tahap penyidikan. Tapi, lagi-lagi, ini tergantung pada penyidiknya,” ungkap Haris.
Saat ini, proses penyidikan tampaknya terkendala pada pengumpulan alat bukti yang cukup untuk menetapkan tersangka. Haris menilai hal ini seharusnya tidak menjadi alasan untuk menunda penanganan kasus.
“Sebenarnya, kesulitan memenuhi dua alat bukti itu tergantung bagaimana penyidik memanfaatkan undang-undang yang ada. Jangan sampai korban kembali dirugikan karena proses hukum yang berlarut-larut,” katanya.
Menurut pengakuan korban, terduga pelaku yang menghamilinya adalah salah satu pimpinan pondok pesantren tersebut. Namun, sampai saat ini terduga pelaku juga belum diketahui keberadaannya. Hingga kini, korban masih menunggu keadilan yang belum juga datang, sementara masyarakat terus mendesak aparat penegak hukum untuk segera menuntaskan kasus ini. Polisi diharapkan dapat segera mengungkap fakta yang ada dan memberikan kepastian hukum bagi semua pihak yang terlibat.
“Polisi ditugasi dan dibiayai oleh negara salah satunya untuk menuntaskan perkara yang terjadi. Jika tidak, maka kasus seperti ini akan berlarut larut dan menjadi PR Polisi selamanya,” pungkas Haris.(CIA)