TRENGGALEK, bioztv.id – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberi sinyal bahaya kepada Pemerintah Kabupaten Trenggalek. Dalam evaluasi terbarunya, lembaga antirasuah itu menemukan banyak celah penyimpangan dalam pengelolaan keuangan daerah, terutama pada pokok-pokok pikiran (pokir) DPRD, hibah dan bansos, serta pengadaan barang dan jasa (PBJ).
Kepala Satuan Tugas (Kasatgas) Korsup III-1 Wilayah Jawa Timur KPK, Wahyudi, memaparkan langsung temuan tersebut dalam audiensi dan koordinasi pencegahan korupsi bersama jajaran Pemkab Trenggalek di Jakarta, Kamis (16/10/2025).
KPK Soroti Pokir DPRD: Indikasi Penjatahan Masih Terjadi
KPK menemukan indikasi penjatahan dan pelanggaran prosedur dalam pengusulan pokir DPRD. Wahyudi menjelaskan, beberapa anggota dewan mengajukan usulan lintas daerah pemilihan (dapil) dan di luar batas waktu yang ditetapkan. Selain itu, data antara SIPD (Sistem Informasi Pemerintahan Daerah) dan kertas kerja TAPD (Tim Anggaran Pemerintah Daerah) belum selaras.
“Kami menganalisis seluruh data dan menemukan indikasi penjatahan masih terjadi dalam pengusulan pokir. Praktik ini bisa memicu konflik kepentingan dan inefisiensi anggaran,” tegas Wahyudi.
Ia meminta setiap Organisasi Perangkat Daerah (OPD) menyusun kertas kerja verifikasi pokir dengan cermat dan terbuka. Wahyudi menegaskan, setiap usulan harus sejalan dengan visi-misi kepala daerah, bukan menjadi proyek titipan politik menjelang tahun anggaran baru.
KPK Ungkap Celah Korupsi pada Hibah dan Bansos
Selain pokir, KPK juga mengungkap kelemahan besar dalam pengelolaan hibah dan bantuan sosial (bansos). Lembaga ini menemukan penerima ganda, lembaga yang tidak relevan, bahkan pencairan dana sebelum proposal diajukan.
“Kami menemukan lembaga yang menerima hibah hingga 26 kali, dan penerima bansos yang mendapat dua kali bantuan dengan nominal berbeda,” ungkap Wahyudi.
Ia menyoroti program Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) yang menggunakan anggaran Rp33 juta untuk 10 penerima tanpa dasar hukum berupa Peraturan Kepala Daerah (Perkada). Wahyudi meminta Bupati segera menetapkan regulasi standar biaya agar distribusi bantuan lebih akuntabel dan tidak tumpang tindih.
KPK Nilai Sistem Pengadaan Barang dan Jasa Masih Lemah
KPK menilai sistem pengadaan barang dan jasa di Trenggalek belum sehat dan transparan. Evaluasi lembaga itu menunjukkan satu penyedia memenangkan banyak paket secara berulang, sementara 596 proyek senilai Rp45 miliar justru dikerjakan oleh penyedia dari luar Trenggalek.
“Temuan ini membuktikan lemahnya partisipasi pelaku usaha lokal dan membuka peluang inefisiensi belanja publik,” jelas Wahyudi.
KPK mendorong Pemkab mengonsolidasikan paket sejenis, seperti proyek pembangunan jalan usaha tani senilai Rp4 miliar, agar lebih efisien dan berdampak luas. Wahyudi juga meminta OPD memperketat pengawasan terhadap sistem e-purchasing, terutama untuk proyek kompleks seperti pembangunan jembatan.
“OPD harus menindaklanjuti hasil audit Inspektorat dan mematuhi Perpres Nomor 46 Tahun 2025 tentang Pengadaan Barang dan Jasa. Mereka juga wajib menerapkan mekanisme analisis harga dan mini kompetisi agar proyek lebih transparan dan akuntabel,” tegasnya.
Pemkab dan DPRD Komitmen Perbaiki Sistem
Ketua DPRD Trenggalek, Doding Rahmadi, menegaskan pihaknya akan menindaklanjuti rekomendasi KPK. Ia berjanji memperbaiki tata kelola pokir agar tidak menjadi sumber praktik titipan politik.
“Kami akan memperbaiki sistem pokir dan memperkuat proses verifikasi bersama OPD teknis supaya manfaatnya benar-benar dirasakan masyarakat,” ujar Doding.
Sementara itu, Bupati Trenggalek Mochamad Nur Arifin menegaskan pentingnya setiap satuan kerja memperkuat sistem pengendalian internal dan manajemen risiko.
“Saya meminta setiap satker memiliki mekanisme pengawasan internal yang kuat. Ini bukan formalitas, tapi langkah nyata agar anggaran publik benar-benar bersih dari penyimpangan,” tegasnya.
Rapor Merah Jadi Peringatan Dini bagi Trenggalek
Rapor merah KPK ini menjadi peringatan dini bagi Pemkab dan DPRD Trenggalek. Meski belum ada kasus korupsi yang terungkap, indikasi penjatahan pokir, duplikasi penerima hibah, serta dominasi penyedia luar daerah menunjukkan risiko penyimpangan masih tinggi.
Kini, pemerintah daerah harus memperkuat transparansi, digitalisasi pengawasan, dan audit publik agar setiap rupiah dalam APBD benar-benar kembali untuk rakyat.(CIA)
Views: 237

















