Kupatan Durenan Tanpa Pawai, Emil Dardak Tetap Nikmati Hangatnya Silaturahmi di Trenggalek

oleh
oleh

TRENGGALEK, bioztv.id – Meski tanpa arak-arakan meriah, semangat Lebaran Ketupat di Kecamatan Durenan, Kabupaten Trenggalek tetap menyala. Tahun ini, tradisi pawai ketupat memang ditiadakan, namun silaturahmi dan nuansa kultural yang mengakar dalam masyarakat tetap hidup dan menghangatkan suasana.

Sejak pagi, halaman Pondok Pesantren Babul Ulum tampak ramai. Warga dari berbagai penjuru berdatangan untuk bersalaman dengan para kiai dan sesepuh. Tempat ini bukan sekadar pesantren biasa, namun merupakan titik mula lahirnya tradisi Lebaran Ketupat di Trenggalek, yang telah diwariskan dari generasi ke generasi.

Wakil Gubernur Jawa Timur, Emil Elestianto Dardak, turut hadir dan merasakan langsung hangatnya tradisi ini. Meski tahun ini tak ada pawai, Emil menyebut esensi kupatan sejatinya bukan pada arak-arakan, tapi pada makna silaturahminya.

“Yang beda tahun ini khusus di Durenan tidak ada pawai. Tapi esensi dari kupatan itu sebenarnya lebih kepada silaturahmi ke kiai-kiai,” tutur Emil saat bersilaturahmi ke pesantren, Senin (7/4/2025).

Menurut Emil, sejarah Lebaran Ketupat di Trenggalek sangat kuat. Dahulu, KH Imam Mahyin, alias Mbah Mahyin saat lebaran diundang ke pendopo oleh Adipati Trenggalek, dan baru pulang pada hari ketujuh setelah Idulfitri. Momen kepulangannya itulah yang menjadi awal tradisi open house atau silaturahmi besar-besaran masyarakat ke kediaman beliau, dan terus berlanjut hingga sekarang.

“Tradisi ini bisa ditelusuri dari zaman Mbah Mesir dan putranya KH Imam Mahyin atau Mbah Mahyin, pengasuh Pondok Pesantren Babul Ulum,” jelas Emil.

Kupatan: Dari Sejarah Hingga Rasa

Tak hanya sejarah, Lebaran Ketupat di Trenggalek juga menyimpan kekayaan rasa. Ketupat disajikan bersama sayur tewel atau nangka muda yang pedas gurih, serta lodho ayam khas Trenggalek yang menggoda selera.

“Kalau ketupat mungkin di mana-mana sama, tapi di sini biasanya disajikan dengan sayur tewel yang agak pedas. Kuah santannya pun tidak terlalu kental, cocok banget buat yang suka rasa ringan tapi nendang,” kata Emil sambil tersenyum.

Namun berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, keramaian pawai budaya yang biasanya menjadi daya tarik tersendiri, pada kupatan kali ini absen. Hal ini diakui oleh Muhammad Al-Haidar, putra pengasuh Pondok Pesantren Babul Ulum. Menurutnya, keputusan tersebut datang dari masyarakat sendiri.

“Tahun ini arakan ditiadakan memang karena belum sempat dijalankan. Tapi silaturahminya tetap ramai,” ungkap Haidar.

Tradisi ini sudah ada sejak ratusan tahun lalu, jauh sebelum ada pawai. Pawai sendiri baru dimulai sekitar 8-10 tahun terakhir.

“kalau pawai tumpeng ketupat itu murni dari masyarakat, ada atau tidak, silaturohmi tetap berjalan seperti biasa,” jelas Haidar.

Faktor Ekonomi dan Kesibukan Warga

Haidar menyebut, selain faktor kesibukan warga, kondisi ekonomi juga bisa jadi mempengaruhi. Banyak masyarakat kini lebih fokus pada efisiensi, baik dari sisi waktu, tenaga, maupun biaya.

“Mungkin karena masyarakat sedang banyak kegiatan atau sibuk keluar daerah. Juga mungkin karena kondisi ekonomi yang membuat warga lebih memilih menghemat. Tapi nilai utama kupatan tetap dijaga, yakni silaturahmi,” ujarnya.

Ia juga menjelaskan bahwa para sesepuh terdahulu mengajarkan agar masyarakat berpuasa Syawal setelah Idulfitri, dan baru menerima tamu setelahnya. Itulah sebabnya silaturahmi besar-besaran dilakukan di hari ketujuh setelah Lebaran, yang kini dikenal sebagai momen Lebaran Ketupat alias kupatan.

“Dulu, kakek-kakek kami mengajarkan bahwa setelah Ramadan dan Idulfitri, kita disunahkan berpuasa enam hari Syawal. Jadi warga tidak datang lebih awal karena tahu tuan rumah sedang puasa. Baru setelah selesai puasa, masyarakat datang bersilaturahmi,” kenangnya.

Tradisi yang Terus Hidup

Meski tanpa hingar-bingar pawai, makna mendalam dari tradisi Lebaran Ketupat tetap terasa. Warga tetap datang dengan penuh antusias, membawa ketupat, sayur, dan senyum hangat yang menjadi lambang eratnya ikatan sosial.

Dan Emil Dardak, yang pulang kampung ke Trenggalek di momen ini, menyebut bahwa kupatan di Trenggalek tak sekadar tradisi, tapi juga identitas.

“Yang istimewa dari kupatan di Trenggalek itu sejarahnya yang jelas, mengakar dari para tokoh agama. Tradisi ini bukan hanya budaya, tapi bagian dari cara masyarakat menjaga silaturahmi dan nilai-nilai kebaikan,” pungkasnya.(CIA)

Views: 9