TRENGGALEK, bioztv.id – Harapan petani di Kabupaten Trenggalek untuk panen padi berkualitas kembali kandas. Hama wereng menyerang lebih masif dan merusak dibanding musim sebelumnya. Ratusan hektare sawah di Kecamatan Durenan kini terancam gagal panen. Petani harus menyemprot pestisida dengan frekuensi tinggi, tetapi hasil tetap tidak memuaskan.
Di balik suburnya hamparan sawah Trenggalek, krisis pertanian terus berkembang. Data lapangan menunjukkan hama wereng cokelat telah menyerang 12 desa, meliputi lebih dari 238 hektare. Desa Pandean dan Desa Malasan menjadi wilayah paling terdampak, masing-masing mencatatkan kerusakan di lahan seluas 35 dan 30 hektare.
“Tahun ini serangan wereng paling parah. Padi banyak yang menguning dan mati sebelum waktunya. Kalau seperti ini terus, ya sudah pasti gagal panen,” kata Sururi (62), petani asal Desa Baruharjo, Senin (4/8/2025).
Pestisida Tak Mampu Bendung Serangan, Ongkos Membengkak
Sururi menyemprot pestisida setiap tiga hari sekali demi menyelamatkan tanamannya. Setiap kali semprot, ia mengeluarkan sekitar Rp200 ribu. Namun, hama tetap datang kembali.
“Sudah coba berbagai merek obat, dari yang murah sampai mahal. Kadang mati, tapi besoknya muncul lagi. Harus disemprot terus, kalau tidak, ya habis semuanya,” keluhnya.
Dari total lahan seluas 400 ru atau sekitar 5.600 meter persegi, lebih dari setengahnya sudah rusak. Ia memperkirakan separuh lahannya gagal panen. Kondisi ini tak hanya menghancurkan hasil, tetapi juga menaikkan biaya produksi tanpa jaminan pengembalian.
Bantuan Pemerintah Belum Menjawab Kebutuhan
Pemerintah desa mencoba memberikan solusi. Hariyani, Kasi Pelayanan Desa Baruharjo, menyebut tim desa telah menyalurkan pestisida gratis dan mengadakan gerakan penyemprotan massal bersama warga.
“Total area terdampak sekitar 25 hektare. Yang sudah puso antara 7 sampai 10 hektare. Kami distribusikan bantuan dari dinas, tapi hasilnya memang belum maksimal,” jelas Hariyani.
Namun, para petani menilai bantuan itu bersifat satu kali dan tidak cukup untuk menangani serangan yang terus terjadi.
“Dikasih obat cuma satu kali. Setelah itu, kami harus beli sendiri. Kalau tidak, ya tanaman mati semua,” ujar Sururi.
Situasi ini menunjukkan ironi di tengah label Trenggalek sebagai lumbung pangan. Ketika hama dan bencana datang bertubi-tubi, petani merasa dibiarkan bertahan sendiri. Bantuan bersifat jangka pendek, sementara ancaman terhadap ketahanan pangan terus berulang.(CIA)
Views: 31

















