Bakeuda Trenggalek Diduga Jalankan Perda Tanpa Perbup: Pajak & Retribusi Naik, Warga Dirugikan!

oleh
oleh

TRENGGALEK, bioztv.id – Kebijakan pajak dan retribusi daerah di Trenggalek kembali menuai sorotan. Badan Keuangan Daerah (Bakeuda) Kabupaten Trenggalek dinilai melangkahi aturan dengan memberlakukan tarif pajak dan retribusi sebelum adanya peraturan bupati (Perbup) sebagai regulasi pelaksananya. Padahal, dalam ketentuan hukum, pelaksanaan Peraturan Daerah (Perda) wajib didukung aturan teknis di bawahnya.

Ketua Komisi I DPRD Trenggalek, Mochamad Husni Tahir Hamid, menyampaikan hal ini setelah rapat pembahasan Perda Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Menurutnya, meskipun PDRD sudah disahkan cukup lama, namun belum ditindaklanjuti dengan Perbup. Seharusnya, pelaksanaan di lapangan juga menunggu Perbup yang menjadi acuan teknis resmi.

“Sesuai bunyi di Perda Nomor 8 Tahun 2023, pelaksanaan pajak dan retribusi itu diatur dengan Perbup. Jika Perbup-nya belum ada, ya seharusnya belum bisa diberlakukan. Namun, kenyataannya di lapangan sudah berjalan, padahal Perbup-nya baru masuk ke Bagian Hukum kemarin,” ungkap Husni kepada wartawan.

Husni menambahkan, aturan di Perda sebenarnya hanya membatasi nilai maksimal tarif pajak dan retribusi. Misalnya, untuk tarif parkir maksimal Rp 3.000. Namun, soal berapa tarif yang diterapkan, seharusnya diputuskan melalui Perbup. Ini termasuk ketentuan teknis pelaksanaan seperti keharusan adanya karcis parkir berbayar, yang kerap terabaikan di lapangan.

“Misalnya, nantinya di Perbup diatur untuk parkir kendaraan roda dua cukup Rp 1.000, sedangkan roda 4 Rp 3.000, dan seterusnya,” jelas Husni.

BPHTB dan Potensi Penyimpangan

Selain soal retribusi, Husni juga menyoroti mekanisme penentuan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang dinilainya tidak transparan. Ia menyebut, banyak masyarakat tidak mengetahui haknya untuk mengajukan keberatan jika nilai pajak BPHTB yang ditetapkan dianggap terlalu tinggi.

“Contohnya, saat orang membeli tanah, BPHTB-nya ditentukan Rp 50 juta. Kalau tidak setuju, mestinya bisa bersurat ke bupati,” ungkap Husni.

Menurutnya, bupati berwenang menentukan nilai BPHTB, bukan hasil negosiasi warga dengan Bakeuda. Jika itu yang terjadi, berarti ada kesalahan.

“Bakeuda tidak punya hak negosiasi, karena kewenangan pejabat itu harus berdasarkan perintah undang-undang,” tegasnya.

Menurut Husni, kondisi ini berbahaya jika dibiarkan. Sebab, selain berpotensi merugikan masyarakat, juga bisa menjadi celah pelanggaran administrasi yang sistemik.

“Jika ada yang memungut tanpa dasar peraturan, coba tanyakan, peraturan apa yang memerintahkannya? Kalau tidak ada, itu bukan pembodohan sebenarnya, tapi memang bodoh,” sindirnya tajam.

DPRD Desak Pemerintah Tertib Regulasi

Komisi I DPRD Trenggalek mendesak pemerintah daerah segera menyelesaikan Perbup sebagai payung hukum teknis pelaksanaan Perda PDRD. Selain itu, Bakeuda juga diminta tidak lagi memberlakukan kenaikan tarif maupun ketentuan pajak tanpa dasar aturan yang sah.

“Jangan sampai masyarakat terus dirugikan karena ketidaktahuan aturan. Pemerintah daerah harus tertib regulasi. Jika memang belum ada Perbup-nya, ya jangan diterapkan dulu,” pungkas Husni.(CIA)

Views: 79