TRENGGALEK, bioztv.id – Kebijakan pengadaan mobil siaga di Desa Sukowetan, Kecamatan Karangan, Trenggalek, menuai kontroversi. Warga diminta membayar iuran sebesar Rp50.000 per Kartu Keluarga (KK) untuk mendanai pembelian mobil tersebut. Kalangan Advokat menilai jika kebijakan ini berpotensi pongli, terlebih sebgain warga merasa keberatan
Iuran ini ditegaskan dalam surat resmi yang beredar di media sosial, salah satunya di akun Instagram @txt_jatim. Dalam surat bernomor 1/PPMS-SKWT/II/2025 yang dikeluarkan oleh Panitia Pengadaan Mobil Siaga, disebutkan bahwa keputusan tersebut merupakan hasil musyawarah antara Kepala Desa, perangkat desa, Badan Permusyawaratan Desa (BPD), ketua RT/RW, serta tokoh masyarakat. Pengumpulan dana dilakukan melalui ketua RT di masing-masing wilayah. Surat tersebut ditandatangani oleh ketua panitia, sekretaris panitia, dan diketahui oleh Kepala Desa Sukowetan.
Kritik dari Advokat: Berpotensi Pungli
Advokat Kantor Hukum IMZ, Ibnu Maulana Zahida, menyoroti kebijakan ini dari sudut pandang hukum. Menurutnya, pengadaan mobil siaga seharusnya dibiayai melalui Dana Desa (DD) atau Alokasi Dana Desa (ADD), bukan dengan memungut iuran dari warga.
“Surat itu meminta masyarakat Sukowetan membayar iuran minimal Rp50.000 untuk pembelian mobil. Jika ini mengatasnamakan desa atau melibatkan pemerintah desa, ini bisa dianggap sebagai pungutan liar (pungli),” tegas Ibnu.
Ibnu menjelaskan, pemerintah desa seharusnya mengalokasikan dana untuk keperluan tersebut melalui mekanisme yang sah.
“Harusnya ini diakomodir dari Dana Desa atau ADD, bukan meminta iuran dari masyarakat. Ini tidak sesuai dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas,” ujarnya.
Potensi Masalah dalam Pelaksanaan
Ibnu juga mempertanyakan mekanisme pertanggungjawaban dalam pengadaan mobil siaga ini.
“Jika warga membayar, siapa yang bertanggung jawab atas pengadaan mobil ini? Siapa yang mengawasi? Bagaimana perawatannya nanti? Ini harus dipikirkan sejak awal,” paparnya.
Ia menambahkan, jika mobil siaga dibeli menggunakan Dana Desa, tanggung jawabnya jelas berada di tangan pemerintah desa. Namun, jika dananya berasal dari iuran warga, mekanisme pertanggungjawabannya menjadi tidak jelas.
“Ini bisa menimbulkan masalah di kemudian hari,” ujar Ibnu.
Sumbangan Sukarela Lebih Tepat
Menurut Ibnu, seharusnya pengumpulan dana dilakukan secara sukarela, bukan melalui iuran yang bersifat wajib. Karena dalam surat tersebut menyebut nominal minimal Rp 50.000,-.
“Kalau sumbangan, itu boleh dan sifatnya seikhlasnya. Penentuan nominal tidak perlu ada surat atau keputusan dari panitia. Tapi kalau iuran, ini bisa menimbulkan polemik,” jelasnya.
Ia menegaskan, jika pemerintah desa ingin menggunakan dana desa untuk pengadaan mobil siaga, hal itu harus diatur melalui Peraturan Desa (Perdes).
“Dasar hukumnya ada di Pasal 69 Ayat 4 Undang-Undang Desa. Rancangan Perdes tentang anggaran pendapatan dan belanja desa, pungutan, tata ruang, dan organisasi pemerintah desa harus dievaluasi oleh bupati sebelum ditetapkan,” ujar Ibnu.
Pemerintah Desa Diminta Transparan
Ibnu Maulana Zahida menyarankan agar pemerintah desa lebih transparan dalam mengelola dana dan kebijakan publik.
“Sebelum memungut iuran dari masyarakat, pemerintah desa harus berkoordinasi dengan bupati dan memastikan semua prosedur hukum terpenuhi. Ini penting untuk menghindari potensi pungli dan konflik di masyarakat,” tegasnya.
Dengan berbagai polemik yang muncul, kini kebijakan pengadaan mobil siaga di Desa Sukowetan menjadi sorotan publik. (CIA)