TRENGGALEK, bioztv.id – Warga Desa Sukowetan, Kecamatan Karangan, Trenggalek, diminta membayar iuran sebesar Rp50.000 per Kartu Keluarga (KK) untuk pengadaan mobil siaga. Kebijakan ini menuai kontroversi, terutama di kalangan warga miskin yang merasa terbebani.
Iuran tersebut ditegaskan dalam surat resmi yang beredar di media sosial, salah satunya di akun Instagram @txt_jatim. Dalam surat Nomor 1/PPMS-SKWT/II/2025 yang dibuat oleh Panitia Pengadaan Mobil Siaga, disebutkan bahwa keputusan ini merupakan hasil rapat bersama Kepala Desa, perangkat desa, Badan Permusyawaratan Desa (BPD), ketua RT/RW, serta tokoh masyarakat. Pengumpulan iuran dilakukan melalui ketua RT di masing-masing wilayah.
Namun, di balik kebijakan tersebut, sejumlah warga mengeluhkan beban finansial yang mereka hadapi. Salah satunya adalah N (85), seorang lansia yang hidup sebatang kara. Ia mengaku harus menjual dua tandan pisang hanya demi membayar iuran.
“Saya menjual dua pohon pisang yang berbuah karena warga lain sudah membayar semua dan saya belum,” ungkapnya.
Hasil penjualan pisang tersebut hanya mencapai Rp60.000, yang langsung digunakan untuk melunasi iuran sebesar Rp50.000. Sisanya digunakan untuk kebutuhan sehari-hari.
“Bagi warga yang punya sawah atau pekerjaan tetap, mungkin tidak masalah. Tapi bagi saya yang hidup sendirian tanpa penghasilan, ini jelas memberatkan,” keluhnya.
Ia juga mempertanyakan transparansi dana yang telah terkumpul serta kejelasan pemanfaatan mobil siaga tersebut.
“Saya tidak tahu berapa total uang yang sudah terkumpul, mobilnya seperti apa, dan bagaimana saya bisa menggunakannya. Saya bahkan tidak punya ponsel untuk menghubungi jika sewaktu-waktu butuh,” imbuhnya.
Keluhan serupa datang dari P (65), warga lainnya yang merasa heran mengapa pengadaan mobil siaga tidak dianggarkan melalui dana desa.
“Semua warga diminta membayar, tapi tidak sedikit yang resah. Saya sendiri, yang tinggal sendirian, juga keberatan,” ujarnya.
Bahkan, T (55) menyebut ada warga yang membayar lebih dari Rp50.000. Ia juga mendengar kabar bahwa jika mobil siaga sudah tersedia, warga tetap harus membayar biaya tambahan untuk sopir.
“Kalau memang benar harus bayar sopir, lalu buat apa kami iuran? Ini harus diperjelas,” tegasnya.
Menanggapi polemik ini, Kepala Desa Sukowetan, Sururi, menegaskan bahwa iuran tersebut bersifat sukarela.
“Itu tidak mengikat, tidak harus. Bagi warga yang menghendaki, silakan berpartisipasi. Ini bukan iuran wajib,” katanya.
Namun, pernyataan tersebut berbanding terbalik dengan realitas di lapangan, di mana banyak warga tetap merasa terpaksa membayar karena tekanan sosial. Beberapa bahkan mengorbankan kebutuhan pokok hanya demi memenuhi permintaan iuran.
Hingga kini, belum ada penjelasan lebih lanjut dari pemerintah desa terkait jumlah dana yang terkumpul, jenis mobil yang akan dibeli, serta mekanisme penggunaannya. Warga berharap ada transparansi lebih lanjut agar tidak terjadi penyalahgunaan dana yang berpotensi merugikan masyarakat kecil.(CIA)