Menyusuri Jejak Sejarah Kupatan di Durenan Trenggalek, Tradisi 200 Tahun yang Mengakar dalam Budaya

oleh
oleh

TRENGGALEK, bioztv.id – Di balik meriahnya perayaan Lebaran Ketupat yang digelar di Desa Durenan, Kecamatan Durenan, Kabupaten Trenggalek, tersimpan kisah panjang yang telah diwariskan lintas generasi. Lebih dari sekadar menyajikan ketupat dan opor ayam, tradisi ini menyimpan nilai-nilai spiritual, sejarah Islam, hingga kebersamaan sosial yang tak lekang oleh waktu.

Sudah lebih dari dua abad, masyarakat Durenan memegang teguh tradisi Kupatan yang dirayakan setiap H+8 Idul Fitri. Tradisi ini digagas oleh seorang ulama karismatik bernama KH Imam Mahyin, pengasuh Pondok Pesantren Babul Ulum pada masa itu. Kini, tongkat estafet itu dipegang oleh cucunya, KH Abdul Fattah Mu’in.

“Tradisi Kupatan ini sudah berjalan sejak zaman Mbah saya, sekitar tahun 1800-an. Setelah beliau wafat sekitar tahun 1910, ayah saya melanjutkannya, dan kini saya teruskan,” tutur KH Abdul Fattah Mu’in.

Kupatan di Durenan bukan sekadar ajang kumpul keluarga. Lebih dari itu, ia adalah momen sakral yang berkaitan dengan ibadah puasa Syawal. KH Imam Mahyin kala itu dijemput oleh Adipati Trenggalek untuk mendampingi open house di pendopo selama enam hari setelah Lebaran. Namun selama berada di sana, sang kiai justru berpuasa setiap harinya, mengikuti sunah Rasulullah SAW.

“Kakek saya puasa dari tanggal 2 sampai 7 Syawal. Bahkan keluarga di rumah pun ikut menjalankan puasa Syawal. Itu yang menjadi dasar kenapa masyarakat Durenan baru silaturahmi setelah H+7 Lebaran,” jelas KH Fattah.

Mengacu pada hadist riwayat Muslim, puasa enam hari di bulan Syawal setelah Ramadan disebutkan setara dengan pahala puasa selama setahun penuh. Maka, tak heran jika masyarakat Durenan baru merayakan Lebaran dengan bersilaturahmi dan menyajikan ketupat pada hari kedelapan, atau H+8 Idul Fitri.

Menariknya, pada hari kepulangannya dari pendopo Kadipaten, KH Imam Mahyin disambut masyarakat dengan berduyun-duyun untuk sowan dan meminta berkah. Sejak itulah, tradisi open house dan penyajian ketupat dimulai. Awalnya hanya tiga rumah keluarga besar Ponpes Babul Ulum yang membuka pintu untuk tamu, kini telah menjelma menjadi tradisi massal yang melibatkan seluruh warga.

“Dulu hanya beberapa rumah saja yang ikut. Sekarang hampir semua warga Durenan ikut merayakan. Kami tidak pernah mengajak atau memaksa, tapi masyarakat antusias. Masing-masing dengan cara dan kemampuannya sendiri,” tambah KH Fattah.

Tradisi ini pun terus berkembang. Kini, hampir di setiap desa dan kecamatan di Trenggalek memiliki versi Lebaran Ketupat masing-masing. Ada yang merayakan dengan pawai budaya, pertunjukan seni tradisi, hingga balon udara. Pelaksanaannya pun beragam, ada yang dirayakan malam hari, ada pula yang berlangsung siang hari.

Namun esensinya tetap sama: menjalin silaturahmi, menguatkan ikatan sosial, serta meneladani ajaran para kiai terdahulu.

“Ini bukan sekadar makan ketupat. Tapi juga bentuk penghormatan terhadap tradisi, ulama, dan nilai-nilai Islam yang telah diwariskan kepada kami,” pungkas KH Abdul Fattah dengan mata berkaca-kaca.

Dari Durenan, pesan itu terus menyebar, membentuk jalinan budaya yang tak hanya dirasakan oleh masyarakat Trenggalek, tapi juga menjadi warisan budaya yang patut dilestarikan oleh generasi masa depan.(CIA)

Views: 10